Sabtu, 7 Desember 2024, menjadi hari yang penuh pengalaman dan pembelajaran bagi siswa-siswi MI Bilingual Al-Ikhlas dan MTS Inklusi Putih Malang. Dalam program edukasi...
Apakah kamu pernah mendengar nama Kampung Coklat? Yah Kampung Coklat merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan yang datang ke Blitar selain Makam Bung Karno.
Kampung coklat ini beralamat di Desa Plosorejo, Kec. Kademangan, Kab. Blitar. Setiap akhir pekan selalu dipenuhi dengan banyak wisatawan dari berbagai macam daerah, karena apa yang ditawarkan oleh kampung coklat belum bisa ditemui di daerah lain.
Di sinilah segala macam tentang kakao bisa kita lihat. Mulai dari produk tanaman hingga produk olahannya.
Penasaran seperti apa keseruan dan sejarah lahirnya Kampung Cokelat? simak ulasan berikut ini.
Sejarah Kampung Cokelat Blitar
Sejarah kampung coklat bisa ditelusuri jejaknya dari 18 tahun yang lalu tepatnya pada 2004. Ide ini berawal saat bisnis dari seorang peternak ayam bernama Kholid Mustofa bangkrut akibat wabah flu burung.
Flu burung yang lagi merajalela itu, membuat Kholid banting setir ke budidaya coklat. Kebetulan Kholid saat itu memiliki lahan seluas 720 meter persegi.
Sebenarnya kebunnya telah ditanami 120 kakao sejak tahun 2000. Karena saat itu fokus bisnis Kholid di peternakan ayam, sehingga kebun itu tak terlalu diurus.
Andaipun kakao panen, ia langsung menjualnya dengan harga murah sekitar Rp 7.000/kilogram.
Ia memutuskan untuk berguru perkakaoan di PTPN XII Blitar dan Pusat Penelitian kopi dan kakao di Jember pada tahun 2005.
Di pertengahan 2005, Kholid mengajak para petani membentuk gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang diberi nama Guyub Santoso. Ada 21 petani yang bergabung saat itu.
Kholid dan para petani yang tergabung dalam kelompok ini mencari informasi harga biji kakao kering di Surabaya. Ternyata harganya lumayan mahal. Di Surabaya itu harga biji kakao kering dihargai Rp 16.000 perkilogramnya.
Mendapat informasi itu, Kholid makin semangat untuk mengembangkan kakao. Di Gapoktan ini, hasil panen petani dihimpun lalu dikeringkan.
Pada 2007, kelompok ini mendapat pesanan untuk memasok biji coklat di sebuah pabrik pengolahan biji coklat sebanyak 3,2 ton perbulan.
Kholid sempat menimbah ilmu cara mengelola kakao di pabrik coklat Monggo Yogyakarta dan Silver Queen.
Lalu pada 2013, Kholid mulai membuat coklat sendiri bekerjasama dengan Anggi coklat asal Blitar. Bubuk coklat itu dipasarkan ke sejumlah daerah seperti Solo dan Surabaya.
Pada 2014 akhirnya dia memutuskan untuk membuat wisata edukasi coklat. Ia pun membangun sebuah kawasan yang diberi nama kampung coklat.
Fasilitas dan Harga Masuk Kampung Cokelat
Di kawasan ini segala pernik-pernik tentang coklat bisa dipelajari. Mulai dari pembibitan hingga pengolahan. Dengan membeli tiket Rp 5.000 per orang di hari biasa dan Rp 10.000 per orang di akhir pekan, pengunjung bisa menjumpai berbagai jenis cokelat.
Mulai dari cokelat original, cokelat krispi, cokelat orange, cokelat apel, cokelat bubuk, cokelat susu, dan berbagai varian dark cokelat tersedia di sini.
Selain diolah menjadi cokelat siap konsumsi, kakao yang dipanen dari Kampung Coklat Blitar juga diolah menjadi berbagai jenis makanan seperti brownies cokelat, dodol cokelat, dan lain sebagainya.
Tak hanya soal percoklatan, di kampung coklat ini, Kholid juga membangun semua fasilitas permainan, hiburan, hingga restoran. Hasil-hasil olahannya juga dipajang di kawasan itu.
Hadirnya kampung coklat ini berdampak besar. Tenaga kerja di desa itu terserap. Tak kurang dari 400 warga desa bekerja di kampung coklat ini. Perekonomian pun desa bergerak. Kini, Desa Plosorejo pun identik dengan kampung coklat itu.
Gimana? Sudah tertarik datang ke Kampung Cokelat?
Sumber: goodnewsfromindonesia.id